Minggu, 15 November 2015

           Belajar Jadi Blogger                                                                                                                                           hay semua, nama aku Singgih Kurniawan lahir di Sampit 31 Maret 2000, saat ini aku duduk di kelas 3 SMP, aku mau belajar menjadi blogger, kalo menurut aku blogger itu keren maka nya aku mau jadi blogger, blog pertama ku ini isi nya tentang cerita pendek, karena aku suka baca cerpen juga, langsung saja ini lah cerpen nya                                                                                                                                                                                     Cerpen Karangan:
          Lolos moderasi pada: 29 May 2015


Delapan tahun itu adalah waktu yang lama. Waktu yang cukup membuat Nindy dan Axcell benar-benar saling jatuh cinta. Delapan tahun bahkan banyak hal yang berubah. Delapan tahun yang lalu, saat SBY belum jadi presiden, saat Justin Bieber belum terkenal, saat handphone touchscreen masih dalam bayang-bayang manusia… Nindy dan Axcell telah memulai segalanya dari sana. Sejak delapan tahun yang lalu, Nindy masih pakai seragam putih-biru, rambutnya yang panjang sepundak suka dikuncir dua, plus pakai bandana dengan poni-poni tipis yang berjatuhan di pelipisnya. Sungguh sebuah keindahan yang sempurna di mata Axcell yang baru kelas 3 SMA. Dan memperingati hari jadian mereka adalah sebuah keharusan. Bahkan sudah seperti tradisi yang perlu dirayakan. Bukan Cuma oleh Nindy dan Axcell, tapi juga keluarga mereka.
1 november 2013
“Ndy, sebenernya ada sesuatu yang mau Axcell sampein ke Nindy. Axcell harap Nindy nggak marah…”
Nindy tegang. “Apa Cell?”
“Hmm… mungkin ini akan jadi dinner hari jadi kita yang terakhir, Ndy…”
“Maksud Axcell?”
“Mm… maksudnya, Axcell udah nggak bisa lagi… jadi, Pacar Nindy”
“Ah, Axcell becandanya nggak lucu banget sih”
“Axcell nggak becanda Ndy. Axcell serius… Axcell udah nggak mau lagi jadi pacar Nindy.”
What?… Nindy kaget.
“Hmm, kayaknya barusan Nindy salah denger deh.. Masa’ Nindy kayak denger Axcell udah nggak mau jadi pacar Nindy lagi, itu… itu lucu banget kan Cell?” sahut Nindy sambil senyum-senyum salting.
“Nggak Ndy. Nindy nggak salah denger. Axcell emang bener-bener ngomong gitu.”
Nindy menatap Axcell lekat di matanya. Sedetik kemudian, tangan Axcell sudah berada di genggamannya.
“Cell… ini dinner kita untuk ngerayain hari jadian kita yang ke delapan. Kita udah delapan tahun jadian, Cell… udah banyak hal yang kita lakuin demi mempertahankan ini, trus tiba-tiba Axcell ngomong gitu…? Salah Nindy apa Cell?… Apa yang perlu Nindy rubah?, Nindy nggak bisa Cell… Delapan tahun itu bukan waktu yang sebentar, tapi apa waktu selama itu belum cukup untuk Nindy ngeyakinin Axcell?… kita emang udah berkali-kali putus nyambung, tapi itu Cell… itu yang bikin kita lebih mengenal.” Pelan-pelan ada air yang turun di sudut mata Nindy. Sulit menerima kenyataan bahwa Axcell akhirnya mengucapkan kalimat yang sama sekali nggak ingin Nindy dengar.
Tapi…
Axcell mengusap pipi Nindy yang mulai merah dan basah.
“Axcell tau, Ndy… delapan tahun itu memang bukan waktu yang sebentar. Meskipun banyak hal yang kadang membuat kita sakit, tapi itulah yang membuat kita sadar kalo kita memang saling membutuhkan. Axcell capek Ndy, putus nyambung terus… jadi Axcell pingin kita nggak usah pacaran lagi”
Nindy menarik tangannya yang ada di genggaman Axcell. Axcell menahannya.
“Tunggu Ndy, Axcell belum selesai ngomong…”
“Tapi Nindy udah nggak bisa dengerin Axcell lagi..”
“Nggak. Nindy harus dengerin Axcell sampe selesai… pliss Ndy”
“Pliss, Cell… Nindy nggak bisa.”
Dengan sedikit memaksa, Nindy menarik tangannya dan cepat-cepat meninggalkan Axcell bersama seribu lilin makan malam mereka.
Rumah Axcell cukup besar untuk langkah kecil Nindy yang bergegas menuju gerbang. Tapi di ruang tamu, Nindy melihatnya ada Ayah-Bundanya lengkap dengan keluarga Axcell. Nindy agak terkejut melihat kehadiran mereka. Mereka juga terkejut melihat Nindy yang tiba-tiba datang dengan mata basah. Di belakangnya ada Axcell yang berlari kecil mengikuti langkah Nindy yang tergesa.
“Ndy, tunggu… Nindy harus dengerin Axcell dulu, Axcell emang nggak mau kita pacaran lagi, Karena.. Axcell pingin jadi suami Nindy. Axcell nggak mau kita pacaran lagi karena Axcell mau kita nikah”
Nindy membalikkan badannya. Ia menatap Axcell entah dengan pandangan apa. Tapi di detik berikutnya, tubuh mungilnya sudah melebur di pelukkan Axcell.
Intan, kakaknya Axcell yang juga baru nikah berdiri dan tepuk tangan diikuti suara tepukkan yang semakin riuh.
“Kita mulai lagi semuanya dari awal, sayang…” bisik Axcell di telinga Nindy.
Dan hari itu pun ditentukan. 11 desember 2013. Hari yang akan merubah segalanya dalam hidup Nindy dan… Hari itu adalah besok.
Erri menatap tenda-tenda yang bergoyang tertiup angin. Besok anak semata wayangnya akan menikah. Ada rasa haru dan sedih yang menggemuruh bergantian di hati Erri. Hari itu membawanya larut dalam memori dua puluh tiga tahun yang lalu. Hari dimana ia juga akan menjadi pengantin. Tenda telah terpasang, gaun telah dipesan… perempuan manapun akan menanti hari itu. Hari dimana mereka akan menjadi pengantin. Erri juga menanti hari mendebarkan itu. Dan hari itu semakin mendebarkan karena pengantin prianya adalah Alvin. Sebelum menikah, nggak banyak yang Erri tau tentang Alvin. Begitu juga sebaliknya. Mereka dipertemukan oleh tantenya Erri yang kebetulan adalah partner Ibunya Alvin. Alvin itu tipikal laki-laki yang mendekati sempurna. Dengan alisnya yang melengkung di atas kelopak matanya yang sedikit cekung mengapit hidungnya yang tinggi. belum lagi bibirnya yang merah dan sedikit agak gemuk. Ditambah perawakannya yang atletis dan karirnya yang bagus di dunia bisnis.
Erri menatap suaminya dari jauh. Alvin sedang tertawa-tawa bersama beberapa kerabatnya. Seperti tak ada yang berubah. Alisnya, matanya, senyumnya, sikapnya yang hangat… tak ada alasan bagi Erri untuk tidak mensyukuri itu semua.
“Bunda, itu bunganya taruh dimana kata mbak-mbak itu…” lapor Nindy membuyarkan ingatan Erri tentang dua puluh satu tahun yang lalu.
Di menit-menit selanjutnya, Erri sudah lupa untuk mengingat dua puluh tiga tahun yang lalu. Ia sudah berbaur dengan kesibukkan untuk hari pengantin anaknya.
“Jangan capek-capek, Bun…” Tegur Alvin ketika kebetulan berpapasan dengan Erri yang sibuk menggotong-gotong bangku dengan beberapa pekerja lain.
“Misi Yah, misi Yah…” Erri acuh dengan teguran Alvin. “Iya mbak, itu disitu aja… nanti bunganya taruh di sampingnya, trus sedap malamnya bisa ditaruh sini nih… nah kan disini jadinya bisa buat naruh kipas angin. Biar pengantinnya nggak kegerahan.”
Alvin berlalu. Erri menatap suaminya dengan senyum tipis di pinggir bibirnya. Detik berikutnya ia sudah berjalan di belakang Alvin.
“Gimana Bundanya nggak capek… Ayahnya nggak bantuin…” ucapnya manja di belakang Alvin. Alvin menoleh sambil tersenyum.
“Hehe… lagian Bunda. Kan udah ada yang ngerjain, pake ikut-ikutan… jadi capek kan?, Ayah mau bikin kopi nih, Bunda mau nggak?”
“Mau atuh, kalo dibikinin mah…”
“Kalo bikin sendiri?”
“Mending ngangkat bangku”
Alvin nyengir mendapat jawaban istrinya yang sedikit asal. Sebelum ia berbelok ke dapur, Erri memanggilnya.
“O iya, yah…”
Alvin menoleh.
“Hm, kayaknya kemarin Bunda minta Ayah ngerapiin rumput yang di samping itu deh Yah. Kok masih berantakan ya?”
“O iyaaa… Ayah lupa Bun”
“Hadeehh.. ya udah sini kopinya Bunda yang bikin”
“Trus Ayah ngapain?”
“Yaaa beresin rumput lah…”
Alvin senyum. Sikap apa adanya Erri itu selalu bikin Alvin senyum. Malah kadang ngakak. Sebelum ia ke pekarangan samping, bibirnya mampir di pipi Erri.
“Iiii… Om Alvin ketawaaann” ledek Ebigeil yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Erri nggak menahan senyumnya yang merekah otomatis. Ada kehangatan menjalari pipinya.
“Nah lho… ketawan anak kecil, kaburrr aaahh…”
Ebigeil cekakakan mendapati Om dan Tantenya salah tingkah.
Selesai bikin kopi, Erri naik ke kamarnya. Sebelumnya ia menitipkan pesan pada Ebigeil.
“Bigeil, nanti bilangin Om Alvin yaa, kopinya di kamar.”
“Ciyeee Tante, nungguin di kamar niyeee…” ledeknya sambil ngacir. Erri Cuma geleng-geleng kepala melihat keponakannya yang usil.
Di kamar, lamunan Erri kembali menjelma.
Dua puluh tiga tahun sudah berlalu sejak hari pernikahan itu. Pernikahan yang dinanti. Pernikahan yang semewah pesta Cinderella. Pernikahan yang telah berjalan puluhan tahun. Erri belum pernah mendengar kata-kata kasar dari mulut Alvin. Tak ada sikap Alvin yang rasanya perlu dicurigai. Meski kadang ia lembur. Tak ada alasan untuk bersedih. Mereka tak pernah bertengkar. Setiap guncangan yang terasa, segera diredakan dengan sikap bijak. Semua orang memuji keharmonisan rumah tangga mereka. Erri tidak pernah tidak bahagia menjadi pendamping Alvin. Alvin sering memuji kecantikannya, kerajinannya, keuletannya, bahkan apapun yang ada di diri Erri selalu disanjung sekalipun itu sebuah kekurangan. Wanita mana yang sempat bersedih jika bersanding dengan laki-laki seperti ini. Alvin selalu pandai membuat wajah Erri merah tersipu-sipu. Apa sih yang kurang dari rumah tangga mereka?… Nindy memang anak satu-satunya yang tersisa. Sebelum Nindy, Erri pernah hamil tapi keguguran. Setelah Nindy pun Erri sempat hamil, tapi baru seminggu bayi yang dilahirkannya meninggal.
Tak ada yang tak disyukuri Erri. Tapi, entah kenapa Erri selalu merasa ada yang belum lengkap. Dengan semua keindahan yang ia rasakan, dengan semua kebahagiaan yang mengelilinginya, Erri merasa kosong. Ia iri dengan seorang perempuan bernama, Rahma. Wanita sederhana berkulit sawo matang yang agak sedikit gemuk. Sejujurnya Erri iri sekali kepada Rahma. Ia memang tidak memiliki suami setampan Alvin, tidak memiliki suami yang seorang pengusaha, suaminya hanya pegawai swasta biasa. Tapi, setidaknya ia memiliki suami yang dicintai Erri. Dimas.
Erri bukan tidak mencintai Alvin. Ia mencintai Alvin. Ia hanya tidak tau bagaimana cara untuk berhenti memikirkan Dimas.
Semuanya memang sudah berlalu, tapi perasaan itu masih tertanam. Entah kenapa, semakin Erri mencoba melupakan justru kegalauan yang ada. Ia cemburu pada Rahma. Mencemburui segala hal yang ada di dekat Dimas. Puluhan tahun ia berlatih mengatakan “Aku mencintaimu” pada Alvin. Dan puluhan tahun itu pula lah ia gagal. Ia mencintai Alvin sebatas di bibir. Lain dengan ia mencintai Dimas. Dimas yang nggak tau apa-apa tentang Erri mencintainya.
Erri dan Dimas berteman sejak lama. Jauh sebelum ia bertemu Alvin. Dan pertemanannya dengan Dimas yang sejak lama itu membuat ia terpukau dengan segala hal yang Dimas miliki. Segala sesuatu tentang Dimas adalah hal paling menarik yang selalu ingin Erri dengar. Bahkan tentang wanita yang mendampinginya saat ini. Hal yang paling mampu membuat Erri cemburu adalah ketika memikirkan Dimas hidup dengan orang lain. Dimas emang nggak tau apa-apa tentang Erri mencintainya. Tapi Dimas juga pernah mencintai Erri. Dulu. Sebelum ia kuliah dan bertemu Rahma. Satu hal yang menjadi alasan Dimas mencintai Rahma adalah karena ia tidak tau Erri mencintainya. Sedangkan alasan Erri menerima pinangan Alvin adalah karena ia tau bahwa ia hanya seorang sahabat bagi Dimas. Nggak pernah lebih. Untuk apa pula kita harus menunggu seseorang yang mencintai orang lain untuk mencintai kita?, bukankah kita hanya akan membuang-buang waktu?, bukankah kita diciptakan untuk orang yang mencintai kita?… tapi kenapa Dimas tidak diciptakan untuk Erri?…
Ada rasa sakit yang menggores tiap-tiap bagian di hati Erri, ketika kenangan itu melintas. Rasa sakit yang entah mengapa tak pernah bisa disembuhkan oleh segala kebahagiaan yang mengelilinginya. Bahkan dengan fakta bahwa Alvin seribu kali lebih baik dari Dimas. Dan hal itu selalu membuat Erri meluruhkan air mata.
Bukan. Bukan karena ia tidak dapat memiliki Dimas. Air mata itu luruh untuk Alvin. Untuk ketulusan Alvin yang sulit ia balas. Untuk cinta dan kasih sayang Alvin yang belum ia kembalikan. Juga untuk segala kepalsuan dan kepura-puraannya mencintai Alvin. Bahkan mencintai Nindy itu jauh lebih mudah dari mencintai Alvin. Erri tak pernah berharap Alvin akan tau hal ini.
Berjodoh dengan orang yang kita cintai itu suatu kebetulan. Tapi, mencintai jodoh yang telah ditakdirkan untuk kita adalah kewajiban.
Erri membuka kembali lembaran lamanya yang ia simpan di antara rak bukunya. Itu adalah tempat paling aman, karena Alvin bukan tipe orang yang suka baca-baca novel sambil santai. Diary biru lusuhnya itu, akan aman bukan?, ketimbang diletakkan di tempat tersembunyi yang barangkali Alvin temukan.
Ia sudah lama tidak membuka buku itu lagi. Sebuah buku biru sederhana yang menyimpan segala kenangan Erri tentang Dimas. Saat sahabat adalah orang yang paling ia cintai. Segala hal tentang Dimas. Segala hal. Foto, tulisan, juga surat. Surat yang pernah ditulis tapi tidak pernah dibaca. Surat yang Erri tulis untuk Dimas di malam terakhirnya melepas masa lajang. Membaca surat itu lagi, seperti menguak luka yang belum sempat mengering.
Dalam surat itu tertulis,
Untuk Dimas
Dari Errica
Nggak nyangka yah, kita udah temenan belasan tahun. Sekarang kita sama-sama udah dewasa. Aku tau ini bodoh, mungkin ini hal terbodoh yang aku lakuin di mata kamu. Yaitu, mengatakan bahwa aku mencintai kamu. Aku tau kamu nggak mungkin percaya, apalagi merasa seperti yang aku rasakan. Aku juga nggak butuh jawaban. Karena, aku udah tau jawabannya. Aku Cuma pingin kamu tau, bahwa kadang aku merasa menjadi teman buat kamu, kadang lebih, kadang bukan siapa-siapa.
Sekarang aku menikah. Suatu saat kamu juga akan menikah, entah itu dengan Rahma atau siapapun. Tapi perlu kamu ingat, dengan siapapun aku menikah, aku tetap mencintai kamu. Dengan siapapun kamu menikah, selama wanita itu baik dan nggak menyakiti kamu, aku akan bahagia.
Maaf aku nggak bisa nulis kata-kata romantis buat kamu, aku Cuma berusaha menyampaikan maksud aku dengan sederhana. Karena aku mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Karena aku mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya mendung. Begitulah aku mencintaimu. Tanpa tau kapan dan mengapa. Begitulah aku mencintaimu… karena aku tak tau cara lainnya.
Untuk yang kesekian kalinya, Erri menangis.
Tok, tok…
“Bunda… Bunda…” suara serak Nindy menembus daun pintu yang tertutup. Erri secepat kilat menyeka air matanya dan membuka pintu. Disana ia menemukan wajah anaknya yang berseri. Wajah wanita yang berseri karena akan menikah dengan laki-laki yang dicintainya.
“Bun.. itu di bawah ada temen Bunda yang dari Tangerang”
“Siapa?”
“Itu lhoo Bun.. yang cantik. Yang kata Bunda punya kafe coffee itu…”
“Mbak Atikah?”
“Iya Bun. Tante Tikah… Sama cucu-cucunya cantik banget.”
“O ya?”
Erri langsung mengekor Nindy menuruni anak tangga. Atikah itu figure idola bagi Erri. Sosok paling menyenangkan. Ia kadang menjelma jadi peri curhat kalau Erri lagi penat. Juga tempat Erri curhat tentang Dimas tentunya.
Mereka langsung cipika-cipiki. Erri nggak nyangka Atikah bakalan datang. Keluarga Erri juga menyambut Atikah dengan antusias. Alvin yang baru selesai beresin rumput juga ikut nimbrung.
“Waahhh apa kabar nih, keluarga jauh?” Tanya Alvin yang tiba-tiba muncul dengan celana digulung dan tangan yang penuh tanah.
“Iii Ayah, cuci tangan dulu kek..” protes Nindy.
“Iya, iya… Waahh, Mas Andre nih pasukkannya makin banyak aja” komentar Alvin sebelum menghilang dari kerumunan. Ia segera ke atas untuk ganti baju.
Beberapa menit kemudian Alvin balik lagi dengan dua kaleng biskuit. Bertemu keluarga Atikah adalah sesuatu yang menyenangkan. Anaknya yang paling besar sudah memberikan dua cucu yang lucu-lucu.
“iya nih bentar lagi juga kita nyusul kok… jadi kakek-nenek” ucap Alvin sambil merangkul Erri yang duduk di sebelahnya. Erri sempat menatap mata Alvin yang menatapnya dengan pandangan kosong. Entah kenapa saat itu waktu seolah berhenti. Seketika suasana terasa hening, bagi Erri. Alvin mendekatkan wajahnya ke wajah Erri. Tapi Erri segera menunduk. Erri agak risih dengan itu, karena banyak anak kecil. Tapi ia segera menikmati obrolan demi obrolan yang memancing tawa. Di mata Erri, Atikah adalah wanita paling beruntung yang pernah ia kenal. Di usianya yang hampir lima puluh ini, ia masih cantik. Dan tentu ia menikah dengan laki-laki yang mencintai dan dicintainya.
Uups, tiba-tiba saja Erri teringat suratnya yang belum sempat ia bereskan.
“Aku tinggal ke atas dulu sebentar ya Mbak Tikah…”
“Oh iya, silahkan…”
Erri menaiki tangga dengan langkah tergesa. Di kamar ia tidak menemukan bukunya. Ia berharap ia lupa bahwa buku itu sudah ia letakkan di tempat semula. Erri mencari buku itu di rak.
Tapi.. gawat!,
Buku itu tidak di tempatnya.
Erri membalikkan selimut, menengok kolong kasur, membuka-buka laci… dan buku itu,
“Cari ini ya?”… di tangan Alvin.
Erri bisa merasakan desir darahnya yang tiba-tiba seolah berhenti. Ia merutukki kecerobohannya.
Cerpen Karangan: Khansa Rizque
Facebook: Khansa_putry[-at-]yahoo.com
Khansa Rizque adalah nama pena dari Azyza Khansa Putry. Penulis adalah seorang yang cantik, baik hati dan tidak sombong, supel, gaul, keren, kece, pintar, tinggi, Umm…. *coret yang tidak perlu*. ( Tapi jangan di coret semuanya yaaa…. pliiisss !!! ).
oke, saya mulai menulis cerpen sejak kecil. dan alhamdulillah semua cerpen saya selalu di muat di flashdisk abi saya yang nggak pernah dibuka. Saya lahir di Depok, 18 maret 1993. Dan pada 1 nov 2013, akhirnya saya menikah dengan suami saya. dan kami pun hidup bahagia selamanya,…                                                                                                                                                                                                                                       
                               Selesai                                           Aku minta maaf kalau tulisan nya gak rata, wajar baru belajar hehehe, gak tau ngebetulin nya gimana